Posted on Kemis, 3 April 2008 by Ki Santri
KISAH asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi
tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis
pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan.
Diantara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah itu pula disebutkan bahwa asal mula kata “Cirebon”
adalah “sarumban”, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi
“Caruban”. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi “Carbon”,
berubah menjadi kata “Cerbon”, dan akhirnya menjadi kata “Cirebon”.
Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai “Pusat Jagat”,
negeri yang dianggap terletak ditengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat
setempat menyebutnya “Negeri Gede”. Kata ini kemudian berubah
pengucapannya menjadi “Garage” dan berproses lagi menjadi “Grage”.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Kata “Cirebon” berdasarkan kiratabasa dalam Bahasa
Sunda berasal dari “Ci” artinya “air” dan “rebon” yaitu “udang kecil”
sebagai bahan pembuat terasi. Perkiraan ini dihubungkan dengan kenyataan
bahwa dari dahulu hingga sekarang, Cirebon merupakan penghasil udang
dan terasi yang berkualitas baik.
Berbagai sumber menyebutkan tentang asal-usul Sunan Gunung Jati, pendiri Kesultanan Cirebon. Dalam sumber lokal yang tergolong historiografi, disebutkan kisah tentang Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.
Karena Raden Pamanah Rasa memenangkan sayembara lalu menikahi puteri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang, dari Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka. Dari perkawinan tersebut lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang dan Raja Sangara. Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang serta Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton, dan tinggal di rumah Pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih.
Puteri Ki Gedeng Danuwarsih yang bernama Nyai Indang Geulis dinikahi Raden Walangsungsang, serta berguru Agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru, yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman. Atas anjuran gurunya, Raden Walangsungsang
membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon
Pesisir. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi orang
Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban”,
artinya campuran. Bukan hanya etnis yang bercampur, tapi agama juga
bercampur.
Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang. Di Tanah Suci inilah, adiknya dinikahi Maulana Sultan Muhammad bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putera Nurul Alim. Nyai Lara Santang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim.
Dari perkawinan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Dilihat dari Genealogi, Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salahseorang Wali Sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.
Sesudah adiknya kawin, Ki Samadullah atau Abdullah Iman pulang ke Jawa. Setibanya di tanah air, mendirikan Masjid Jalagrahan, dan membuat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Setelah Ki Danusela meninggal Ki Samadullah diangkat menjadu Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana. Pakuwuan ini ditingkatkan menjadi Nagari Caruban larang. Pangeran Cakrabuana mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana, dan dianggap sebagai cara untuk melegitimasi kekuasaan Pangeran Cakrabuana.
Setelah berguru di berbagai negara, kemudian berguru tiba di Jawa. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya disarankan untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Syarif Hidayatullah pergi ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana. Syarif Hidayatullah
tiba di pelabuhan Muara Jati kemudian terus ke Desa
Sembung-Pasambangan, dekat Amparan Jati, dan mengajar Agama Islam,
menggatikan Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati juga mengajar di dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Karena isterinya meninggal, Syekh Jati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana, disamping menikahi Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi.
Syekh Jati kemudian pergi ke Banten
untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang
keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga masuk Islam dan
memberikan adiknya untuk diperistri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten, lahirlah Pangeran Saba Kingkin, kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta Syekh Jati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah
pun kembali ke Caruban. Di Cirebon ia dinobatkan sebagai kepala Nagari
dan digelari Susuhunan Jati atau Sunan Jati atau Sunan Caruban atau
Cerbon. Sejak tahun 1479 itulah, Caruban Larang dari sebuah nagari mulai
dikembangkan sebagai Pusat Kesultanan dan namanya diganti menjadi
Cerbon.
Pada awal abad ke-16 Cirebon dikenal sebagai kota perdagangan
terutama untuk komoditas beras dan hasil bumi yang diekspor ke Malaka.
Seorang sejarawan Portugis, Joao de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia bercerita tentang hal tersebut. Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Medez Pinto yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Pada tahun 1596, rombongan pedagang Belanda dibawah pimpinan Cornellis de Houtman
mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang
datang ke Cirebon melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota
dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah
aliran sungai.
Sejak awal berdirinya, batas-batas
wilayah Kesultanan Cirebon termasuk bermasalah. Hal ini disebabkan,
pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Sundakalapa berhasil ditaklukan. Ketika
Banten muncul sebagai Kesultanan yang berdaulat ditangan putra Susuhunan Jati, yaitu Maulana Hasanuddin, masalahnya timbul, apakah Sunda Kalapa termasuk kekuasaan Cirebon atau Banten?
Bagi Kesultanan Banten,
batas wilayah ini dibuat mudah saja, dan tidak pernah menimbulkan
konflik. Hanya saja pada tahun 1679 dan 1681, Cirebon pernah mengklaim
daerah Sumedang, Indramayu, Galuh, dan Sukapura yang saat itu
dipengaruhi Banten, sebagai wilayah pengaruhnya.
Pada masa Panembahan Ratu, perhatian lebih diarahkan kepada penguatan kehidupan keagamaan. Kedudukannya sebagai ulama, merupakan salah satu alasan Sultan Mataram
agak segan untuk memasukkan Cirebon sebagai daerah taklukan. Wilayah
Kesultanan Cirebon saat itu meliputi Indramayu, Majalengka, Kuningan,
Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang. Ketika Panembahan Ratu wafat, tahun 1649 ia digantikan oleh cucunya Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Dari perkawinannya dengan puteri Sunan Tegalwangi, Panembahan Girilaya memiliki 3 anak, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kesultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, atau dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, yang dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya dikenal dengan Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.
Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan. Pada tahun 1800 Residen Waterloo
mencoba membuat pipa saluran air yang mengalir dari Linggajati, tetapi
akhirnya terbengkalai. Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 buah toko
eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula
sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 3 perusahaan
Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabangnya di
Cirebon. Pada tahun 1877, di sana sudah berdiri pabrik es, dan pipa air
minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun
pada tahun 1877. Pada awal abad ke-20, Cirebon merupakan salahsatu dari
lima kota pelabuhan terbesar di Hindia Belanda, dengan jumlah penduduk
23.500 orang. Produk utamanya adalah beras, ikan, tembakau dan gula.***(Nina H. Lubis (ed.), Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, 2000.)
Kesepuhan
Pangeran
Sri Mangana Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran
Bogor, tercatat sebagai pendiri Keraton Pakungwati sekitar tahun 1480
M. Kedudukannya sebagai putra mahkota dan tumenggung di Cirebon tak
membuatnya ragu untuk memisahkan diri dari Kerajaan Padjajaran.
Keputusan tersebut diambil agar beliau lebih leluasa mengembangkan agama
Islam dan sekaligus terbebas dari pengaruh agama Hindu, agama resmi
Kerajaan Padjajaran.Nama Pakungwati diambil dari nama Ratu Ayu
Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana sendiri. Kelak, Ratu Ayu
Pakungwati menikah dengan Syarif Hidayatullah, atau yang lebih populer
dengan nama Sunan Gunung Djati.
Setelah Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Djati naik tahta pada
tahun 1483 M. Selain sebagai seorang pemimpin yang disegani, Sunan
Gunung Djati juga dikenal sebagai seorang ulama terkemuka di
Cirebon.Pada tahun 1568 M Sunan Gunung Djati wafat. Kemudian, posisinya
digantikan oleh cucunya, Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu.
Pada masa Pangeran Emas inilah dibangun keraton baru di sebelah barat
Dalem Agung yang diberi nama Keraton Pakungwati. Sejak tahun 1697 M,
Keraton Pakungwati lebih dikenal dengan nama Keraton Kasepuhan dan
sultannya bergelar Sultan Sepuh.Pada tahun 1988, untuk menjaga dan
melindungi keaslian keraton, terutama koleksi benda-benda kuno
peninggalan Kesultanan Cirebon, dua ruangan yang berada di bagian depan
Keraton Kasepuhan dijadikan museum yang dapat dikunjungi oleh masyarakat luas.
Kereta singa barong kesepuhan
Kereta
Singa Barong adalah hasil karya Panembahan Losari, cucu Sunan Gunung
Jati, yang dibuatnya pada 1549. Ukiran binatang pada kereta Kereta
Singa Barong ini berbelalai gajah yang melambangkan persahabatan Kasultanan Cirebon dengan India,
berkepala naga sebagai lambang persahabatan dengan Cina, serta
bersayap dan berbadan Buroq yang melambangkan persahabatan dengan
Mesir.
Keraton Kanoman
Keraton Kanoman
didirikan oleh Sultan Kanoman I (Sultan Badridin) turunan ke VII dari
Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah) pada tahun 510 tahun Saka atau
tahun 1588 Masehi
Kereta Paksi Naga Liman
Kereta Paksi Naga Liman
yang merupakan Kereta kebesaran Sunan Gunung Jati dan para Sultan
Cirebon ini dibuat pada tahun yang sama dengan Kereta Jempana, yaitu
tahun Saka 1350 atau 1428, juga atas prakarsa Pangeran Losari. Kereta
Paksi Naga Liman menggabungkan bentuk paksi (burung), naga, dan liman
(gajah) yang belalainya memegang senjata trisula ganda. Keistimewaan
Kereta Paksi Naga Liman yang disimpan di Keraton Kanoman ini ada pada
bagian sayapnya yang bisa mengepak saat kereta sedang berjalan.
Keraton Kacirebonanhttp://wisatacirebon.weebly.com/tempat-sejarah-cirebon.html
Keraton
Kacirebonan merupakan keraton yang paling kecil diantara keraton lain
yang ad di daerah cirebon.Sejarah Keraton Kacirebonan dimulai ketika
Pangeran Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman
bergabung dengan rakyat Cirebon dalam menolak pajak yang diterapkan
Belanda, yang memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja
Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria
di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan
Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga
reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke
Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan
Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan
Keraton Kanoman tetap dicabut.