KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur atas
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
Penulisan makalah ini dibuat adalah
sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali (STAIMA) Cirebon
dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan bahan
pembelajaran.
Penyusunan menyadari bahwa dalam
penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak
sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
Untuk kebaikan dan sempurnanya
makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.
Cirebon, Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL – 1
KATA PENGANTAR – 2
DAFTAR ISI – 3
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang – 4
b. Rumusan Masalah – 5
c. Tujuan Penulisan – 5
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian Metodologi Studi Islam – 6
b. Manfaat Metodologi – 7
c. Studi Islam – 9
d. Pengertian Ilmu – 11
e. Pengertian Ilmu Keislaman – 13
f. Awal Perkembangan Studi Islam – 13
g. Pengembangan Ilmu Keislaman – 14
h. Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia
– 15
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan – 16
DAFTAR PUSTAKA – 17
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pada awal tahun 1970-an
berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa
agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama adalah wahyu Allah. Sikap
serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion
dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti
agama. Sebab, antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ),
tidak bisa disinkronkan.[1]
Kehadiran agama Islam
yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan
manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai
berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al
Qur’an dan Hadist, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan
yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material
dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan,
anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak
mulia dan bersikap positif lainnya.
Membahas tentang ilmu
itu tidak akan ada habisnya, karena ilmu merupakan salah satu dari sifat utama
Allah SWT dan satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk menerangkan
pengetahuan Allah SWT. Dalam membahas ilmu tersebut tidak terlepas dari yang
namanya pendekatan, pengkajian, serta metodologi, ketiga kata-kata ini saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Setiap pembahasan dari suatu
disiplin ilmu apalagi yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya
sangat membutuhkan pengkajian, pendekatan ataupun metodologi sehingga ilmu
tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Apalagi ilmu yang
berhubungan dengan agama Islam, agama yang diridhai Allah dan agama yang
menjadi rahmatan lil ‘alamin, hal ini
sesuai dengan kelima ayat Alqur’an dari wahyu pertama yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW yakni surah Al-‘Alaq ayat 1-5 yang menjelaskan bahwa ajaran
Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Sebagian ahli
menerangkan bahwa perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan
yang ditempuh kaum muslimin terhadap
wahyu dalam menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup, menurut pendekatan
ini hadirnya Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi
pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan
persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi
Muhammad[2]
Padahal, di sisi lain
ilmu keislaman mengemban tugas penting, yakni bagaimana mengembangkan kualitas
sumber daya manusia (SDM) agar umat Islam dapat berperan aktif dan tetap
survive di era globalisasi. Dalam konteks ini Indonesia sering mendapat kritik,
karena dianggap masih tertinggal dalam melakukan pengembangan kualitas
manusianya. Padahal dari segi kuantitas Indonesia memiliki sumber daya manusia
melimpah yang mayoritas beragama Islam.
b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Metodologi Studi Islam ?
2. Apa Manfaat Metodologi ?
3. Apa Studi Islam ?
4. Apa Pengertian Ilmu ?
5. Apa pengertian Ilmu Keislaman ?
6. Bagaimana Awal perkembangan studi Islam ?
7. Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman ?
8. Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman di
Indonesia ?
c. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Metodologi Studi
Islam.
2. Mengetahui Manfaat Metodologi.
3. Mengetahui Studi Islam.
4. Mengetahui Mengertian Ilmu.
5. Mengetahui Pengertian Ilmu Keislaman.
6. Mengetahui Awal Perkembangan Studi Islam.
7. Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman
8. Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman di
Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Metodologi Studi Islam
Menurut bahasa
(etimologi), metode berasal dari bahasa
Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau
langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang
lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah
“metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos, methodos
berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelsaikan
sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan wawasan.
Dengan demikian metodologi adalah metode atau cara-cara yang berlaku dalam
kajian atau penelitian.[3]
Metodologi adalah
masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode kognitif
yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat, sains,
atau hanya mempunyai bakat.[4]
Cara dan prosedur untuk
memperoleh pengetahuan dapat ditentukan berdasarkan disiplin ilmu yang
dikajinya, oleh karena itu dalam menentukan disiplin ilmu kita harus menentukan
metode yang relevan dengan disiplin itu,
masalah yang dihadapi dalam proses verivikasi ini adalah bagaimana prosedur
kajian dan cara dalam pengumpulsn dan analisis data agar kesimpulan yang
ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif. Penetapan prosedur kajian dan
cara ini disebut metodologi kajian atau metodologi penelitian.
Selain itu, metodelogi
adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang
digunakan dalam penelitian.[5] Louay safi mendefinisaikan metodologi sebagai bidang
peenelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode
yang digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia atau dengan kata lain
metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan
dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai metode ilmiah.[6]
Ketika metode
digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang”
atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan
cara yang sudah diterima (well received) tetapi berupa berupa kajian tentang
metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu
pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan
kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka
luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari
itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan
metode tidak.
Metodologi adalah ilmu
cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu)
penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi
studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar
ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian
atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya.
Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang
yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam
tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
b. Manfaat Metodologi
Untuk memahami Islam
(menggali ajaran Islam) secara substantive sehingga ajaran Islam mampu menjadi
solusi alternative dalam segala situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wa
makan). Pentingnya Metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaissans,
bahkan dikatakan yang menyababkan stagnasi dan kemajuan adalah bukan karena ada
atau tidaknya orang jenius, melaikan karena metode penelitian dan cara melihat
sesuatu[7]
Maka metode yang tepat
adalah masalah pertama yang harus
diusahakan dalam berbgai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga menurut Mukti Ali,
Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan
ilmu.[8]
Oleh karena itu, metode
memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian
pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan
membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau
tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan karena metode penelitian dan
cara melihat sesuatu.[9] Untuk melihat ini kita dapat mengambil contoh yang
terjadi pada abd keempat belas, lima belas dan enam belas Masehi. Aristoteles
(384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon
(1561-1626)[10]; dan Plato (366-347 SM.) adalah lebih jenius dari Roger
Bacon[11] (1214-1294). Pertanyannya apakah yang menyebabkan dua orang Bacon itu
menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih
rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato atau Aristoteles, sedangkan
orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan
menyebabkan stagnasi dan kemandegan?
Dengan perkataan lain, mengapa orang-oranf jenius menyebabkan kemandegan dan
stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan
ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena
orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan
utuh, sekalipun kecerdasaanya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran.
Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode
yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka merka
tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya. [12]
Uraian tersebut sama
sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang
ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum
cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilh metode yang akan
digunakan untuk kerjanya dalam ilmu pengetahuan. Metode dan berpikir yang benar
tak ubahnya seperti orang yang berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya
dan tidak dapat berjalan dengan cepat daripada jago lari yang mengambil jalan
yang terjal lagi berbelok-belok. Betapaun tepatnya jago lari itu, ia akan
datang terlambat pada tempat yang dituju, sedangkan orang lumpuh sebelah
kakinya yang memilih jalan yang benar akan sampai kepada tujuan dengan segera.
Dari contoh ini semakin terlihat tentang pentingnya metode dalam melaksanakan
suatu kegiatan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan
dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti
adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. [13]
Selain itu penguasaan
metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang
dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi
konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan Tinggi Islam,
khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam menguasi metodologi.
Hal demikian terlihat pada saat yang bersangkutan menulis karya ilmiah semacam
skripsi. Keadaan tersebut antara lain disebabkan karena metode penyajian kuliah
lebih banyak menempatkan mahasiswa pada posisi pasif. Mereka hanya
diperintahkan datang, mencatat, memahami, dan menghafal. Sedangkan kegiatan
yang mendorong mereka membaca, menelaah, dan meneliti dengan menggunakan metode
tertentu kurang dilatih.
Kini disadari bahwa
kemampuan dalam menguasi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di
bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.
c. Studi Islam
Di kalangan para ahli
masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam (agama)
dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan
karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Amin Abdullah
mengatakan jika penyelanggaraan dalam penyampaian Islamic Studies atau
Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan
dakwa keagamaan di dalam kelas, lalu apa
bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggrakan di
luar bangku kuliah? Meresponi sinyalemen tersebut, menurut Amin Abdullah,
pangkal tolak kesuliatn pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas.
Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai
disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidaklah salah.
Pada dataran
normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan
yang bersifat memihak, romatis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis,
kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau
naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali
dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[14]
Dengan demikian secara
sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif
sebagaiman yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist, maka Islam lebih merupakan
agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu
pradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama,
Islam lebih bersifat memihak, romatis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika
dilihat sagi histori, yakni Islam dalam arti yang dipraktikan oleh manusia
serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat
dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Keislaman atau Islam
Studies.
Ketika islam dilihat
dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan
yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah.[15] Sedangkan ketika Islam
dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tmapak dalam masyarakat,
Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Stuies).
Selanjutnya, studi
Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut
sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr adalah
sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaannya
sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Selama
kurang lebih 700 tahun, sejak abad kedua hingga kesembilan Masehi, peradaban
Islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban
mana pun di wilayah sains, dan sains Islam beradapada garda depan dalam
berbagai kegiatan, mukai dari kedokteran sampai astronomi[16]
Dengan demikian sains
Isalam mecakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran , astronomi,
matematika, fisika dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai
Islami. Sementara studi Islam adalah
pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktikan dalam sejarah
dan kehidupan manusia, sedang pengetahuan agama adalah pengetahuan yang
sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa
dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca Al Qur’an
dan akhlak.
Dari tiga kategori ilmu
keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan Madrasah Diniyah,
yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama;
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut Agama Islam yang di
dalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadist, Teologi, Filsafat,
Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayan Islam dan Pendidikan Islam. Kemudian
muncul pula Universitass Islam yang id dalamnya diajarkan berbagai ilmu
pengetahuan modern yang berbuasa Islam yang selanjutnya disebut Sains Islam.
d. Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari
bahasa Arab, ‘alima, artinya pengetahuan, dan ini sama dengan kata dalam bahasa
Inggris, science, yang berasal dari bahasa latin, scio atau scire, yang
kemudian di Indonesiakan menjadi sains. Kata ilmu dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm
yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan
katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu
sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.[17]
Sehingga dapat diartikan, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu.[18]
Menurut Jujun S.
Suriasumantri, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah
dasar sampai penddikan lanjutan dan perguruan tinggi.[19] Fungsi dari ilmu atau
pengetahuan ilmiah adalah menjelaskan, meramal, dan mengontrol.
Ilmu sains atau ilmu
pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan
meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.
Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan
pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik
diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir
lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah
produk dari epistemologi (filsafat pengetahuan).
Ilmu atau pengetahuan
ilmiah merupakan salah satu jenis pengetahuan dalam kehidupan manusia. Ilmu
adalah pengetahuan sistematis dan taat asas tentang suatu obyek tertentu, yaitu
gejala alamiah, gejala sosial, dan gejala budaya. Gejala-gejala tersebut
relative konkrit, dalam arti dapat diamati dan dapat diukur. Apabila disusun
ciri gejala yang dikaji mulai dari yang konkrit sampai yang abstrak, maka rumpun
dan disiplin ilmu tersusun secara hierarkis, mulai dari fisika, kimia, biologi;
kemudian ilmu social dan ilmu hukum; sampai falsafah dan ilmu agama.[20]
Ilmu agama Islam
merupakan bagian dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu social. ‘Ulumul
Qur’an, ‘Ulumul Hadits, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh,ilmu fiqh dan sejenisnya
masuk dalam rumpun ilmu budaya (humaniora) yang bersifat ideal dan normative.
Sejarah peradaban Islam, ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah masuk dalam
rumpun ilmu-ilmu social yang sifatnya aktual dan empiris. Juga terdapat
disiplin ilmu lain yang berkembang terutama dalam rumpun ilmu-ilmu alamiah,
antara lain astronomi dan geologi.[21]
Perintah menuntut ilmu
dalam Alqur’an dan hadits mendorong kaum muslimin pada abad pertama hijrah
untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan China
ke dalam bahasa Arab. Kemudian para filsuf muslim mengklasifikasi ilmu-ilmu
tersebut secara sistematis. Ini menjadi dasar bagi para ilmuwan muslim untuk
mengembangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya
(matematika dan logika).
Nurcholis Madjid
menjelaskan tentang hubungan organik antara iman dan ilmu Islam. Menurutnya,
ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami
alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan
rahasia-Nya.[22] Sejalan dengan argument ini juga dijelaskan oleh Ibnu Rusyd,
seorang filosof muslim, dalam makalahnya “Fashl al-maqal wa Taqrir ma Bain
al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal”, bahwa antara iman dan ilmu tidak
terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan demikian karena iman tidak
saja mendorong bahkan juga menghasilkan ilmu serta membimbing ilmu dalam
pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Ilmu juga berbeda dari iman
karena ilmu bersandar pada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses
penalaran rasional (berpikir), sedangkan iman bersandar pada sikap membenarkan
atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh pembawa berita, yaitu nabi,
yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan Allah
(Rasul).[23]
e. Pengertian Ilmu Keislaman
Ilmu keislaman adalah
segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam
bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini
bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Pendidikan Islam Secara
etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata
kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.
Menurut pendapat ahli,
Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
f. Awal perkembangan Studi Islam
Ilmu keislaman pada
zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat
studi Islam klasik adalah Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak),
Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Studi Islam sekarang ini
berkembang hampir diseluruh negara didunia, baik didunia Islam maupun bukan
negara Islam. Didunia Islam terdapat pusat-pusat studi, seperti Universitas
Al-Azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi.
Di Indonesia, studi
Islam (ilmu keisalaman tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Studi Islam di negara-negara
non Islam diselenggarakan dibeberapa negara antara lain di India, Chicago, Los
Angeles, London dan Kanada . begitulah studi Islam sejak zaman awal pembentukan
Islam hingga sekarang ini.
g. Pengembangan Ilmu Keislaman
Kajian ilmiah untuk
ilmu-ilmu keislaman bisa dilakukan dengan memperhatikan dua hal. Pertama,
Ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist
shahih, terutama yang termasuk dalil qath’i tidak boleh digugat. Kedua, yang
menjadi kajian adalah hasil ijtihad ulama yang merupakan produk manusia;
sehingga hampir semua ilmu keislaman bisa menjadi lapangan kajian ulang secara
kritis sehingga memungkinkan untuk berkembang.
Saat ini sudah saatnya
untuk merekonstruksi yang diawali dengan dekonstruksi ilmu-ilmu keislaman yang
sudah dianggap baku, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1) Hasil karya ulama yang lalu yang selama ini
ditempatkan sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada proporsi yang
sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad ulama terdahulu. Disini diperlukan
adanya ’’humanisasi ilmu-ilmu keislaman’’ sehingga doktrin yang sakral tersebut
menjadi sesuatu yang bisa tersentuh manusia.
2) Melihat hasil ijtihad tersebut secara
kontektual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai. Dengan demikian,
kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa lampau perlu dikembangkan.
3) Setelah mampu menciptakan kontekstualisasi,
barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Proses dekonstruksi–rekonstruksi
yang meliputi relatifisasi doktrin ilmu-ilmu keislaman tersebut harus diimbangi
dengan arah timbal balik mereposisi yang selama ini dianggap sekuler. Ilmu-ilmu
yang selama ini dianggap sekuler itu hendaknya diadakan ’’sakralisasi’’ atau
lebih tepatnya pemberian nilai-nilai agama sehingga akan semakin dekat dengan
ilmu-ilmu keislaman.
Dalam konteks
dekonstruksi–rekonstruksi ini perlu dikaji secara mendalam dan serius terhadap
pemikiran-pemikiran ulama klasik secara akademis, obyektif dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik pula. Sebagai contoh, selama ini,
khususnya diindonesia ketika menyebut nama al-Ghazali, termasuk ketika akan
mengkaji pemikirannya, sudah terjadi keputusan penilaian terlebih dahulu
sehingga hasilnya akan sangat bias.
Disini akan muncul dua
kelompok masyarakat yag berbeda. Pertama, sebelum mengkaji sudah membuat
keputusan kehebatannya, bahkan ada yang mengelompokkan sebagai orang suci yang
tidak bersalah, sehingga tidak ada lagi mampu melakukan kajian kritis, atau
bahkan tidak berani melakukannya karena khawatir dianggap su’ul adab. Kedua,
sebelum mengkaji sudah su’uzhan dan menilai negatif terlebih dahulu sehingga
apapun yang dihasilkan Al-Ghazali adalah jelek dan negatif. Kalau dunia
pendidikan masih terbawa kebiasaan seperti itu berarti kita belum mampu hidup
didunia akademaik. Kalau buku-buku filosof seperti Plato, Aritoteles dan
lainnya masih saja menjadi rujukan dan dianggap sebagai buku klasik dan serta
masih dikaji, mengapa ilmu-ilmu keislaman tidak banyak disentuh dan dikaji
secara mendalam ? ini memperkuat anggapan kita bahwa problemnya sebenarnya
bukan pada esensinya, tetapi pada pendekatan dan operasoinalisasinya.[24]
h. Ilmu Keislaman di Indonesia
Pada awal
perkembangannya Islam di Indonesia, pendidikan Islam di Indonesia dilaksanakan
secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang
muslim.
Dalam
operasionalisasinya, mereka melakukan pendidikan dan menyebarkan agama Islam
dengan perbuatan, dengan contoh dan suri tauladan. Pada waktu itu para
pendakwah Islam melaksanakan penyiaran. Agama Islam kapan saja., dimana saja,
dan kepada siapa saja yang ditemui oleh mereka. Pendidikan dan pengajaran
secara informal ternyata membawa hasil yang sangat baik. Mereka dibiasakan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan didahului membaca basmalah.
Usaha-usaha pendidikan agama dimasyarakat yang kelak dikenal dengan pendidikan
non formal. Dimasyarakat yang kuata agamanya ada tradisi yang mewajibkan
anak-anak yang sudah berumur 7 tahun.
Modal pokok yang
dimiliki mereka adalah semangat menuntut ilmu agama bagi anak-anak. Implementasi
pendidikan dipusat-pusat pendidikan non formal seperti surau, langgar, masjid,
serambi rumah sang guru adalah berkumpul murid besar dan kecil, kegiatan itulah
yang menjadi cikal-bakal didirikannya pesantren, yang mana tingkatan global
pendidikannya disebut madrasah, lalu dipecah menjadi tiga tingkatan
(ibtidaiyyah, tsanawiyah dan ‘aliyah).
BAB
III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah
diatas, maka dapat di simpulkan bahwa, Metodologi adalah ilmu cara- cara dan
langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta
menerapkan cara.
Ilmu Keislaman adalah
segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam
bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini
bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Sedangkan pada dahulu
penerapan Ilmu Keislaman pada zaman awal dilaksanakan dimasjid-masjid. Mahmud
yunus menjelaskan bahwa pusat studi Islam klasik adalah mekkah dan madinah (Hijaz),
Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir).
DAFTAR
PUSTAKA
Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Atang Abdul Hakim dan
Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000).
Yatimun Abdullah, Studi
Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Nurcholish Madjid,
Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Jujun S. Suriasumantri,
Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2005).
Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
M. Djaelani, Ensklopedi
Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007).
Mukti Ali, Metode
Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Abdul Rozak, Metodologi
Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Amin Abdullah, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;1996).
Mircea Aliade, W.C.
Smith, et.all, Metodologi Studi Agama, penerj. Ahmad Norma Permata, cet. 1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000