Jumat, 09 November 2018

Pengertian Metodologi Studi Islam


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan.
            Penulisan makalah ini dibuat adalah sebagai media pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Ali (STAIMA) Cirebon dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan bahan pembelajaran.
            Penyusunan menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.
            Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Dan akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.

                                                                                                Cirebon,   Oktober 2017
                                  
                                                                                                Penyusun
















DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL – 1
KATA PENGANTAR – 2
DAFTAR ISI – 3

BAB I PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang – 4
b.      Rumusan Masalah – 5
c.       Tujuan Penulisan – 5

BAB II PEMBAHASAN
a.       Pengertian Metodologi Studi Islam – 6
b.      Manfaat Metodologi – 7
c.       Studi Islam – 9
d.      Pengertian Ilmu – 11
e.       Pengertian Ilmu Keislaman – 13
f.       Awal Perkembangan Studi Islam – 13
g.      Pengembangan Ilmu Keislaman – 14
h.      Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia – 15

BAB III PENUTUP
a.       Kesimpulan – 16

DAFTAR PUSTAKA – 17






BAB I
PENDAHULUAN

a.    Latar Belakang
Pada awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu. Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ; agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti agama. Sebab, antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa disinkronkan.[1]
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al Qur’an dan Hadist, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Membahas tentang ilmu itu tidak akan ada habisnya, karena ilmu merupakan salah satu dari sifat utama Allah SWT dan satu-satunya kata yang dapat digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT. Dalam membahas ilmu tersebut tidak terlepas dari yang namanya pendekatan, pengkajian, serta metodologi, ketiga kata-kata ini saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Setiap pembahasan dari suatu disiplin ilmu apalagi yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya sangat membutuhkan pengkajian, pendekatan ataupun metodologi sehingga ilmu tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya. Apalagi ilmu yang berhubungan dengan agama Islam, agama yang diridhai Allah dan agama yang menjadi rahmatan lil ‘alamin,  hal ini sesuai dengan kelima ayat Alqur’an dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yakni surah Al-‘Alaq ayat 1-5 yang menjelaskan bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Sebagian ahli menerangkan bahwa perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang  ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup, menurut pendekatan ini hadirnya Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi Muhammad[2]
Padahal, di sisi lain ilmu keislaman mengemban tugas penting, yakni bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar umat Islam dapat berperan aktif dan tetap survive di era globalisasi. Dalam konteks ini Indonesia sering mendapat kritik, karena dianggap masih tertinggal dalam melakukan pengembangan kualitas manusianya. Padahal dari segi kuantitas Indonesia memiliki sumber daya manusia melimpah yang mayoritas beragama Islam.

b.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Metodologi Studi Islam ?
2.      Apa Manfaat Metodologi ?
3.      Apa Studi Islam ?
4.      Apa Pengertian Ilmu ?
5.      Apa pengertian Ilmu Keislaman ?
6.      Bagaimana Awal perkembangan studi Islam ?
7.      Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman ?
8.      Bagaimana Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia ?

c.       Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Pengertian Metodologi Studi Islam.
2.      Mengetahui Manfaat Metodologi.
3.      Mengetahui Studi Islam.
4.      Mengetahui Mengertian Ilmu.
5.      Mengetahui Pengertian Ilmu Keislaman.
6.      Mengetahui Awal Perkembangan Studi Islam.
7.      Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman
8.      Mengetahui Pengembangan Ilmu Keislaman di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

a.     Pengertian Metodologi Studi Islam
Menurut bahasa (etimologi),  metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi,  metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah “metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos, methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelsaikan sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan wawasan. Dengan demikian metodologi adalah metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian.[3]
Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat, sains, atau hanya mempunyai bakat.[4]
Cara dan prosedur untuk memperoleh pengetahuan dapat ditentukan berdasarkan disiplin ilmu yang dikajinya, oleh karena itu dalam menentukan disiplin ilmu kita harus menentukan metode yang relevan dengan disiplin  itu, masalah yang dihadapi dalam proses verivikasi ini adalah bagaimana prosedur kajian dan cara dalam pengumpulsn dan analisis data agar kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif. Penetapan prosedur kajian dan cara ini disebut metodologi kajian atau metodologi penelitian.
Selain itu, metodelogi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metode penelitian adalah  pengetahuan tentang berbagai metode yang digunakan dalam penelitian.[5] Louay safi mendefinisaikan metodologi sebagai bidang peenelitian ilmiah yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji fenomena alam dan manusia atau dengan kata lain metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan, mendeskripsikan dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai metode ilmiah.[6]
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima (well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.

b.      Manfaat Metodologi
Untuk memahami Islam (menggali ajaran Islam) secara substantive sehingga ajaran Islam mampu menjadi solusi alternative dalam segala situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wa makan). Pentingnya Metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaissans, bahkan dikatakan yang menyababkan stagnasi dan kemajuan adalah bukan karena ada atau tidaknya orang jenius, melaikan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu[7]
Maka metode yang tepat adalah masalah pertama  yang harus diusahakan dalam berbgai cabang ilmu pengetahuan. Sehingga menurut Mukti Ali, Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.[8]
Oleh karena itu, metode memiliki peranan sangat penting dalam kemajuan dan kemunduran. Demikian pentingnya metodologi ini, Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang yang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu.[9] Untuk melihat ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abd keempat belas, lima belas dan enam belas Masehi. Aristoteles (384-322 SM.) sudah barang tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626)[10]; dan Plato (366-347 SM.) adalah lebih jenius dari Roger Bacon[11] (1214-1294). Pertanyannya apakah yang menyebabkan dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato atau Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan  stagnasi dan kemandegan? Dengan perkataan lain, mengapa orang-oranf jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasaanya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka merka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya. [12]
Uraian tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilh metode yang akan digunakan untuk kerjanya dalam ilmu pengetahuan. Metode dan berpikir yang benar tak ubahnya seperti orang yang berjalan. Seorang yang lumpuh sebelah kakinya dan tidak dapat berjalan dengan cepat daripada jago lari yang mengambil jalan yang terjal lagi berbelok-belok. Betapaun tepatnya jago lari itu, ia akan datang terlambat pada tempat yang dituju, sedangkan orang lumpuh sebelah kakinya yang memilih jalan yang benar akan sampai kepada tujuan dengan segera. Dari contoh ini semakin terlihat tentang pentingnya metode dalam melaksanakan suatu kegiatan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan dalam pelbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. [13]
Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Para lulusan Perguruan Tinggi Islam, khususnya pada jenjang strata 1 masih dinilai lemah dalam menguasi metodologi. Hal demikian terlihat pada saat yang bersangkutan menulis karya ilmiah semacam skripsi. Keadaan tersebut antara lain disebabkan karena metode penyajian kuliah lebih banyak menempatkan mahasiswa pada posisi pasif. Mereka hanya diperintahkan datang, mencatat, memahami, dan menghafal. Sedangkan kegiatan yang mendorong mereka membaca, menelaah, dan meneliti dengan menggunakan metode tertentu kurang dilatih.
Kini disadari bahwa kemampuan dalam menguasi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.

c.       Studi Islam
Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Amin Abdullah mengatakan jika penyelanggaraan dalam penyampaian Islamic Studies  atau  Dirasah Islamiyah  hanya mendengarkan dakwa keagamaan di dalam kelas,  lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggrakan di luar bangku kuliah? Meresponi sinyalemen tersebut, menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesuliatn pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies  atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidaklah salah.
Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romatis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.[14]
Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaiman yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist, maka Islam lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya pradigma ilmu pengetahuan, yaitu pradigma analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romatis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika dilihat sagi histori, yakni Islam dalam arti yang dipraktikan oleh manusia serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Keislaman atau Islam Studies.
Ketika islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah.[15] Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tmapak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Stuies).
Selanjutnya, studi Islam sebagaimana dikemukakan di atas berbeda pula dengan apa yang disebut sebagai sains Islam. Sains Islam sebagaimana dikemukakan Hussein Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum Muslimin sejak abad Islam kedua, yang keadaannya sudah tentu merupakan salah satu pencapaian besar dalam peradaban Islam. Selama kurang lebih 700 tahun, sejak abad kedua hingga kesembilan Masehi, peradaban Islam mungkin merupakan peradaban yang paling produktif dibandingkan peradaban mana pun di wilayah sains, dan sains Islam beradapada garda depan dalam berbagai kegiatan, mukai dari kedokteran sampai astronomi[16]
Dengan demikian sains Isalam mecakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran , astronomi, matematika, fisika dan sebagainya yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami.  Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktikan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedang pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya secara murni tanpa dipengaruhi sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca Al Qur’an dan akhlak.
Dari tiga kategori ilmu keislaman tersebut, maka muncullah apa yang dikenal dengan Madrasah Diniyah, yaitu lembaga pendidikan yang secara khusus mengajarkan pengetahuan agama; Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut Agama Islam yang di dalamnya diajarkan studi Islam yang meliputi Tafsir, Hadist, Teologi, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam, Sejarah Kebudayan Islam dan Pendidikan Islam. Kemudian muncul pula Universitass Islam yang id dalamnya diajarkan berbagai ilmu pengetahuan modern yang berbuasa Islam yang selanjutnya disebut Sains Islam.

d.      Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alima, artinya pengetahuan, dan ini sama dengan kata dalam bahasa Inggris, science, yang berasal dari bahasa latin, scio atau scire, yang kemudian di Indonesiakan menjadi sains. Kata ilmu dalam bahasa Arab yaitu ‘ilm yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.[17] Sehingga dapat diartikan, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu.[18]
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak bangku sekolah dasar sampai penddikan lanjutan dan perguruan tinggi.[19] Fungsi dari ilmu atau pengetahuan ilmiah adalah menjelaskan, meramal, dan mengontrol.
Ilmu sains atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.  Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi (filsafat pengetahuan).
Ilmu atau pengetahuan ilmiah merupakan salah satu jenis pengetahuan dalam kehidupan manusia. Ilmu adalah pengetahuan sistematis dan taat asas tentang suatu obyek tertentu, yaitu gejala alamiah, gejala sosial, dan gejala budaya. Gejala-gejala tersebut relative konkrit, dalam arti dapat diamati dan dapat diukur. Apabila disusun ciri gejala yang dikaji mulai dari yang konkrit sampai yang abstrak, maka rumpun dan disiplin ilmu tersusun secara hierarkis, mulai dari fisika, kimia, biologi; kemudian ilmu social dan ilmu hukum; sampai falsafah dan ilmu agama.[20]
Ilmu agama Islam merupakan bagian dari rumpun ilmu-ilmu budaya dan ilmu-ilmu social. ‘Ulumul Qur’an, ‘Ulumul Hadits, ilmu kalam, ilmu ushul fiqh,ilmu fiqh dan sejenisnya masuk dalam rumpun ilmu budaya (humaniora) yang bersifat ideal dan normative. Sejarah peradaban Islam, ilmu pendidikan Islam dan ilmu dakwah masuk dalam rumpun ilmu-ilmu social yang sifatnya aktual dan empiris. Juga terdapat disiplin ilmu lain yang berkembang terutama dalam rumpun ilmu-ilmu alamiah, antara lain astronomi dan geologi.[21]
Perintah menuntut ilmu dalam Alqur’an dan hadits mendorong kaum muslimin pada abad pertama hijrah untuk menerjemahkan berbagai buku dari bahasa Yunani, Persia, India, dan China ke dalam bahasa Arab. Kemudian para filsuf muslim mengklasifikasi ilmu-ilmu tersebut secara sistematis. Ini menjadi dasar bagi para ilmuwan muslim untuk mengembangkan sains, terutama ilmu pengetahuan alam dan ilmu alatnya (matematika dan logika).
Nurcholis Madjid menjelaskan tentang hubungan organik antara iman dan ilmu Islam. Menurutnya, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya.[22] Sejalan dengan argument ini juga dijelaskan oleh Ibnu Rusyd, seorang filosof muslim, dalam makalahnya “Fashl al-maqal wa Taqrir ma Bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal”, bahwa antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Dikatakan demikian karena iman tidak saja mendorong bahkan juga menghasilkan ilmu serta membimbing ilmu dalam pertimbangan moral dan etis dalam penggunaannya. Ilmu juga berbeda dari iman karena ilmu bersandar pada observasi terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional (berpikir), sedangkan iman bersandar pada sikap membenarkan atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh pembawa berita, yaitu nabi, yang menyampaikan berita tersebut kepada umat manusia selaku utusan Allah (Rasul).[23]

e.       Pengertian Ilmu Keislaman
Ilmu keislaman adalah segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam.  Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Pendidikan Islam Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

f.        Awal perkembangan Studi Islam
Ilmu keislaman pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat studi Islam klasik adalah Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Studi Islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh negara didunia, baik didunia Islam maupun bukan negara Islam. Didunia Islam terdapat pusat-pusat studi, seperti Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi.
Di Indonesia, studi Islam (ilmu keisalaman tinggi) dilaksanakan di 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan dibeberapa negara antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London dan Kanada . begitulah studi Islam sejak zaman awal pembentukan Islam hingga sekarang ini.
g.      Pengembangan Ilmu Keislaman
Kajian ilmiah untuk ilmu-ilmu keislaman bisa dilakukan dengan memperhatikan dua hal. Pertama, Ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist shahih, terutama yang termasuk dalil qath’i tidak boleh digugat. Kedua, yang menjadi kajian adalah hasil ijtihad ulama yang merupakan produk manusia; sehingga hampir semua ilmu keislaman bisa menjadi lapangan kajian ulang secara kritis sehingga memungkinkan untuk berkembang.
Saat ini sudah saatnya untuk merekonstruksi yang diawali dengan dekonstruksi ilmu-ilmu keislaman yang sudah dianggap baku, dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1)   Hasil karya ulama yang lalu yang selama ini ditempatkan sebagai doktrin hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad ulama terdahulu. Disini diperlukan adanya ’’humanisasi ilmu-ilmu keislaman’’ sehingga doktrin yang sakral tersebut menjadi sesuatu yang bisa tersentuh manusia.
2)   Melihat hasil ijtihad tersebut secara kontektual, sehingga menjadi hidup dan mempunyai nilai. Dengan demikian, kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad masa lampau perlu dikembangkan.
3)   Setelah mampu menciptakan kontekstualisasi, barulah akan mampu mengadakan reaktualisasi. Proses dekonstruksi–rekonstruksi yang meliputi relatifisasi doktrin ilmu-ilmu keislaman tersebut harus diimbangi dengan arah timbal balik mereposisi yang selama ini dianggap sekuler. Ilmu-ilmu yang selama ini dianggap sekuler itu hendaknya diadakan ’’sakralisasi’’ atau lebih tepatnya pemberian nilai-nilai agama sehingga akan semakin dekat dengan ilmu-ilmu keislaman.
Dalam konteks dekonstruksi–rekonstruksi ini perlu dikaji secara mendalam dan serius terhadap pemikiran-pemikiran ulama klasik secara akademis, obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik pula. Sebagai contoh, selama ini, khususnya diindonesia ketika menyebut nama al-Ghazali, termasuk ketika akan mengkaji pemikirannya, sudah terjadi keputusan penilaian terlebih dahulu sehingga hasilnya akan sangat bias.
Disini akan muncul dua kelompok masyarakat yag berbeda. Pertama, sebelum mengkaji sudah membuat keputusan kehebatannya, bahkan ada yang mengelompokkan sebagai orang suci yang tidak bersalah, sehingga tidak ada lagi mampu melakukan kajian kritis, atau bahkan tidak berani melakukannya karena khawatir dianggap su’ul adab. Kedua, sebelum mengkaji sudah su’uzhan dan menilai negatif terlebih dahulu sehingga apapun yang dihasilkan Al-Ghazali adalah jelek dan negatif. Kalau dunia pendidikan masih terbawa kebiasaan seperti itu berarti kita belum mampu hidup didunia akademaik. Kalau buku-buku filosof seperti Plato, Aritoteles dan lainnya masih saja menjadi rujukan dan dianggap sebagai buku klasik dan serta masih dikaji, mengapa ilmu-ilmu keislaman tidak banyak disentuh dan dikaji secara mendalam ? ini memperkuat anggapan kita bahwa problemnya sebenarnya bukan pada esensinya, tetapi pada pendekatan dan operasoinalisasinya.[24]

h.      Ilmu Keislaman di Indonesia
Pada awal perkembangannya Islam di Indonesia, pendidikan Islam di Indonesia dilaksanakan secara informal. Agama Islam datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim.
Dalam operasionalisasinya, mereka melakukan pendidikan dan menyebarkan agama Islam dengan perbuatan, dengan contoh dan suri tauladan. Pada waktu itu para pendakwah Islam melaksanakan penyiaran. Agama Islam kapan saja., dimana saja, dan kepada siapa saja yang ditemui oleh mereka. Pendidikan dan pengajaran secara informal ternyata membawa hasil yang sangat baik. Mereka dibiasakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan didahului membaca basmalah. Usaha-usaha pendidikan agama dimasyarakat yang kelak dikenal dengan pendidikan non formal. Dimasyarakat yang kuata agamanya ada tradisi yang mewajibkan anak-anak yang sudah berumur 7 tahun.
Modal pokok yang dimiliki mereka adalah semangat menuntut ilmu agama bagi anak-anak. Implementasi pendidikan dipusat-pusat pendidikan non formal seperti surau, langgar, masjid, serambi rumah sang guru adalah berkumpul murid besar dan kecil, kegiatan itulah yang menjadi cikal-bakal didirikannya pesantren, yang mana tingkatan global pendidikannya disebut madrasah, lalu dipecah menjadi tiga tingkatan (ibtidaiyyah, tsanawiyah dan ‘aliyah).






BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat di simpulkan bahwa, Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Ilmu Keislaman adalah segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam.  Pada awalnya ilmu-ilmu Islam berkembang dalam bidang qiraah, tafsir dan hadis. Kemudian menyusul ilmu fikih, ilmu-ilmu ini bertambah dan berkembang sesuai dengan evolusi kemajuan masyarakat.
Sedangkan pada dahulu penerapan Ilmu Keislaman pada zaman awal dilaksanakan dimasjid-masjid. Mahmud yunus menjelaskan bahwa pusat studi Islam klasik adalah mekkah dan madinah (Hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir).



















DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).
Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000).
Yatimun Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
M. Djaelani, Ensklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007).
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991).
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;1996).
Mircea Aliade, W.C. Smith, et.all, Metodologi Studi Agama, penerj. Ahmad Norma Permata, cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Cover Makalah Bahsa Inggris


MAKALAH
BAHASA INGGRIS
PRONOUNS”










DISUSUN OLEH
1.    SUKANI
2.    NUR KHASANAH
SEMESTER 2
PRODI  S1 TARBIYAH



SEKOLAH TINGGI AGMA ISLAM MA’HAD ALI
 

2017-2018